Hari ini tepat seminggu lalu saya menjalani operasi kecil untuk mengangkat tumor jinak yang juga keciiiiil di leher kiri. Hari ini juga, saya udah berhenti memakaikan perban pada bekas operasi itu. Dokter memang tidak menyarankan untuk mengenakan perban (mungkin saking kecilnya operasi itu) tapi saya aja yang berniat untuk jaga-jaga dari debu dan polusi Jakarta yang Alhamdulillah belakangan ini sudah mulai ditepis hujan.
Tubuh saya mungkin memang rentan ditumbuhi hal semacam, tumor, kista, dan sebagainya. Saya menceritakan ini bukan untuk pamer penyakit atau minta dikasihani (seperti pernah dituduhkan orang2 di blog saya). Saya bercerita untuk berbagi, untuk berjaga-jaga, mengajak anda lebih awas terhadap tubuh sendiri. Karena, sejak awal, dokter yang memeriksa saya sudah mewanti-wanti: empat dari lima perempuan muda, rentan terkena penyakit ini.
Statemen terakhir itu diucapkan dokter ahli kandungan yang selalu saya kunjungi dulu di Samarinda, Kaltim. Ketika itu, selalu mengalami kesakitan yang amat sangat saat haid. Kram terutama pada perut bagian bawah, pinggang, kaki dan tangan, disertai keringat dingin, mual2, dan sebagainya. Kata dokter (perempuan), itu kurang lebih sama sakitnya dengan ibu-ibu yang akan melahirkan.
Durasinya pun lama, sampe 10 hari dengan volume darah yang keluar juga banyak terus. Perut saya besar (kata dokter volume rahim saya seperti ibu2 yang telah melahirkan tiga anak, huhuhu…) sampe beberapa kali dikira hamil (atau dihaluskan dengan pertanyaan, “lho, nikahnya kapan sih, kok ga bilang?”).
Setelah dua kali pingsan di kantor (prosesnya udah mulai semaput di jalan jadi cepet2 balik ke kantor biar ada yang nolongin), saya akhirnya memberanikan diri ke dokter kandungan atas saran…internet. Saat di dokter, selain dapet nasehat, juga diomelin. Apalagi setelah suatu saat saya pingsan di mall dan dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya membayar Rp 1,7 juta untuk perawatan yang ga sampe 24 jam. Saya diomelin habis2an. “Kamu makan fastfood ya?” doh, kok tau banget sih, dok?
Dokter mendapati dinding rahim dan luar rahim saya ditumbuhi endometriosis (kista kalo ukurannya lebih besar) dan tumor jinak (myoma) ukuran tujuh centimeter. Tapi dia ga menyarankan untuk operasi sebab katanya saya belum menikah, jangan melukai rahim, dan sakit ini soal hormon saja, bisa sembuh dengan obat.
Dan dokter ngasih ultimatum: “Kalau kamu ga mau datang ke sini tiap bulan, ga kesakitan tiap bulan, kamu cuma boleh makan sayur dan buah. Boleh makan nasi tapi sesekali aja.” Saya masih nawar karena itu hal yang berat buat anak kost dan pemakan nasi macam saya. Saya dikasih semacam obat KB untuk penyeimbang hormon yang harganya muahalll. Asuransi saya tidak meng-cover jenis penyakit ini (ya, betapa bias gender-nya perusahaan2 asuransi itu)
Dokter ngasih solusi ampuh, “nikahlah, itu obatnya.” Saya jawab, “Dok, kalo resep satu ini bisa ditebus di apotek, sudah saya lakukan sejak dulu.”
Karena ga kuat dengan terus menerus mengkonsumsi obat kimia (dengan segala efek jangka panjang termasuk emosi labil, nafsu makan melonjak, pusing2, jerawatan, hingga rentan kanker payudara) saya berusaha patuh dengan berhenti makan daging. Mencoba jadi vegetarian walopun lebih banyak melanggarnya. Mengkonsumsi kunyit putih (yang kata salah satu dokter juga bisa jadi obat segala macam tumor), akupuntur, dan sebagainya.
Tapi, belakangan setelah sempat dinyatakan sembuh dan rahim saya dinyatakan bersih, saya menjadi kurang waspada. Segala macam dimakan. Apalagi sebulan terakhir saat Jakarta mulai senyap menjelang lebaran, makanan sehari2 saya junk food.
Saat pulang kampung, tiba2 leher kiri saya perih bukan hanya saat kena kerah baju atau rambut, tapi setiap saat. Saya berencana ke dokter bedah tapi saya coba dulu ke dokter kulit. Dan….yang selama ini saya pikir tahi lalat alias andeng2 (bener ga namanya?) yang terus membesar, ternyata adalah tumor. Dan harus diangkat saat itu juga.
“Jangan ke dokter bedah karena di sana pasti pakai jahitan dan akan berbekas nanti,” kata dokter. Saya pasrah saja meski dengan kaki dan tangan jadi dingin karena takut pada kata “operasi”. Dokter tau, “Ini akibat pola konsumsi di masa lalu, makannya enak2 terus ya? Pernah mengkonsumsi obat dalam jangka waktu lama?” tanyanya. Saya ceritakan soal obat2 KB penyeimbang hormon itu. Dokter mengangguk. “Ya, itu pemicunya. Kita, perempuan, memang rentan penyakit macam ini. Boleh makan segala macam, tapi jangan lemak hewani,” katanya sambil nunjukin tumor sejenis di leher bagian belakangnya.
Nah, temans, yang hendak saya bagi adalah, apapun keluhanmu, segeralah periksakan ke dokter. Kita tak pernah tau pasti apalagi kalo kita emang bukan dokter. Ga usah nanya2 ke temen atau memirip2kan dengan temen sebab beda keluhan, beda tindakan, beda harga (ini penting, kalo udah parah, harganya juga melambung), dan beda dokter juga. Jadi, tetaplah waspada.