Lebaran yang Mengiris Hati

Dua minggu lebaran berlalu. Saya sudah kembali ke Depok setelah mudik sepekan lebih di kampung halaman. Tapi sampai hari ini saya masih sering termangu. Lebaran ini terasa ganjil. Tak riang. Tak seramai biasanya. Sanak saudara yang biasanya datang rombongan demi rombongan, kini tak ada lagi. Yang datang satu dua orang pun tak sampai hitungan sebelah jari tangan. Sepi. Nelangsa. Saya tak lagi berada di dapur terus menerus untuk mencuci piring gelas bekas tetamu seperti tahun tahun sebelumnya. Posisi saya kini berpindah ke dipan kecil di depan tivi, nyaris sepanjang hari selama libur mudik kami.

Saya tahu, kami semua tahu sebabnya, karena Etta sudah tiada. Kami semua merasakannya, tapi tak ada yang membicarakannya. Kami hanya menelan rasa sepi dan ganjil itu dalam diam bersama kesedihan yang dalam. Kami menelannya bulat2 disertai usapan pada sudut mata karena rasa hangat dan basah yang menjalar pelan. Ada pedih di ulu hati, ada perih di ujung hidung yang memerah.

Dua hari setelah lebaran, hujan mengguyur deras sepanjang hari tiada henti. Sabtu pagi, seketika dada makin sesak saat menyaksikan dinding tanah di kolam ikan buatan Etta terkikis runtuh. Saya bisa menahan diri dan menelan raungan dan air mata, meski akhirnya tak tahan juga untuk tak meneteskannya saat diam-diam saya melirik kakak saya yang selalu berurai air mata. Dia tak pernah tak menangis saat melihat semua bekas tangan Etta di setiap sudut rumah dan halaman kami. Pada meja kursi kasar buatan Etta dengan kapaknya. Pada kolam ikan bekas paculan Etta. Pada setiap helai dedaunan tanaman Etta. Pada panenan buah peninggalan Etta. Pada bisikan terakhir serupa pamitan Etta di halaman karena tak bisa membantu kakak kami lagi mengurus rumah.

Rasa sesak kian membuncah tatkala satu demi satu dari kami meninggalkan rumah. Jika tak pandai menelan rasa sedih dan nyeri, saya yakin yang keluar saat pamitan adalah raungan dan caci maki. Bukan tak ihlas pada kepergian Etta tapi kepulangannya sungguh terasa sebagai kehilangan jembatan kami. Kami tak pandai bertukar cakap. Kami hanya bisa menelan dan menelan semua rasa. Rasa marah, rasa rindu, rasa sepi, rasa sayang, semua dipendam. Ini memang ketakutan terbesar saya setelah Etta pergi. Mama, dan dua kakak saya yang tinggal serumah, seperti tiga perempuan asing satu sama lain. Etta, yang jadi jembatan mereka (ya, mereka, karena saya tak pernah di rumah) tak ada lagi.

Hari ini, 21 Juli, tepat enam bulan kepergian Etta, pedih di hati masih menusuk. Hari ini, Kamis ke-26 kepergian Etta, perih di hati masih mengiris.