Akhirnya…

Hari ini Kamis ke sekian Puan disapih. Sudah mendekati dua bulan. Prosesnya lumayan lama. Kata orang2 yang lebih berpengalaman, lamanya proses itu salah satunya karena menyapihnya ketika si anak sudah melewati usia 2 tahun. Katanya lagi, prosesnya akan lebih mudah jika si anak disapih pada usia 2 tahun pas.

Entahlah. Beragam cara untuk menyapih. Saya udah nanya banyak ibu2 muda saat akan menyapih Puan. Saya ingiiin sekali proses menyapih begitu saja tanpa drama. Katanya proses itu harus didahului dengan pesan yang disampaikan ke anak, jauh hari sebelumnya, 6 bulan hingga setahun. Tapi, ada juga yang berlangsung mulus, bahkan diminta oleh anaknya sendiri, tanpa didahului pesan2.

Saya sempat mencoba menyapih sebelum Puan berusia 2 tahun. Tapi saya ga konsisten. Rasa ga tega membuat saya plin plan. Ditambah pikiran, toh saya di rumah, toh anaknya masih mau, toh air susunya masih ada, jadi kenapa harus disapih? Apalagi ditambah cerita tetangga dan teman lain yang menyapih anak bahkan hingga usia 5 tahun. Saya ga akan sampe 5 tahun juga sih, tapi faktanya ada anak yang bisa sampe usia segitu dan ASI-nya masih ada. Isinya racun? Bohong. Nyatanya ga ada anak usia 2 tahun ke atas yang keracunan ASI.

Demikianlah ketidaktegaan saya berlangsung hingga Puan berusia 2,5 tahun. Sebulan menjelang puasa lalu, akhirnya saya merencanakan untuk menguatkan hati menyapih Puan. Saya mengambil momen puasa karena saya jadi punya penjelasan ke Puan: Bentar lagi bulan Ramadan, waktunya puasa. Ibu puasa makan dan minum, Puan puasa nenen. Nanti, kalau udah puasa, Puan ga nenen lagi yaaa…

Saya ga mengulang2 kalimat itu selama sebulan. Hanya disampaikan sesekali, karena saya mencoba menyapih sebelum Ramadan tiba. Saya berencana mengurangi waktu nenennya misalnya dengan dijatah 2-10 menit saja. Ternyata, cara itu kurang tepat karena faktanya, kami hampir selalu melewatkan waktu yang disepakati. Beberapa kali juga saya berniat berhenti dan membiarkan Puan nenen sesukanya sampai usia berapapun. Lalu saya sadari bahwa keberhasilan menyapih memang terletak pada kuat tidaknya niat dari ibunya. Anak sih pasti akan beradaptasi. Itulah kenapa sistem penjatahan waktu nenen agak sulit berhasil. Saya pun kembali pada niat semula, menyapih pada hari pertama puasa.

Waktunya pun tiba, hari Kamis, usai sahur, saya kembali ke tempat tidur saat Puan nangis kebangun mencari2 nenen seperti biasa. Saya peluk dan ingatkan: Ini sudah puasa, waktunya berhenti nenen. Dan seperti sudah diduga, dia menangis sejadi-jadinya sekitar satu jam, hingga akhirnya dia tertidur kelelahan. Siang hari saat akan tidur siang, proses itu berulang. Puan nangis lagi sejam dan tertidur sambil tersedu2.

Selama proses itu, rasanya sediiiiih sekali, dan saya pun ikut nangis. Apalagi, malam pertama disapih. Puan masih mencoba meminta nenen. Saat saya ingatkan perjanjian seperti subuh dan siang harinya, Puan cuma tertunduk sedih lalu berbalik memunggungi saya dan memeluk guling.

Haduh, rasanya hancur hati ini. Saya sedih karena saya berpikir Puan udah ga membutuhkan ibunya lagi. Saya protes dalam hati, begitu cepatkah dia melupakan nenennya? Rasanya ga relaaaa banget. Saya nyaris tergoda untuk menawarinya nenen lagi. Selama ini saya selalu berpikir rasa sedih itu hanya ke-lebay-an para ibu muda yang baru punya anak. Saya salah. Kini saya mengalaminya. Penuh drama. Mama saya mengalaminya juga pada 5 anaknya.

Puan hanya menangis minta nenen dua kali, pada subuh dan siang di hari pertama. Tapi hari2 selanjutnya, dia selalu gelisah dan terbangun tengah malam mencoba mencari2 nenen lagi. Pada siang hari, dia begitu rewel dan ogah tidur siang.

Alhamdulillah, prosesnya cukup lancar. Tapi saya menodainya dengan membuat kesalahan besar. Suatu hari kami meninggalkan Puan sendirian untuk salat subuh di mushollah. Dan dia terbangun mencari2. Saat saya pulang, Puan menangis di jendela memanggil2 dengan wajah ketakutan. Apalagi lampu kamar saya matikan. Sambil nangis, dia sempet cerita: Puan cari2 ibu ga ada. Puan lempar2 mainan.

Sedih, hingga sakit rasanya dada ini. Semua gorden keliatannya tersingkap, dan mainannya berceceran di kolong kursi. Mungkin saking marah dan frustasinya dia mencari2 saya ke dapur, tempat biasanya dia menemukan saya saat terbangun. Kamar dan dapur gelap. Lampu yang dinyalakan hanya di ruang tamu. Tapi dia tidak menemukan siapapun di dalam rumah, apalagi menemukan nenen :((((

Saya mencatat peristiwa ini sebagai sebuah penyesalan luar biasa yang menjadi sumber trauma Puan. Hari2 setelahnya, jika dia tak menemukan saya di sisinya saat terbangun tengah malam, sahur, dan subuh, dia akan menangis sejadinya. Akhirnya saya pun terpaksa menggendong sambil masak saat sahur. Karena saat saya bergerak dari tempat tidur, dia pasti terbangun dan menangis kenceng. Sampe saat ini pun, Puan masih nempel dan ga mau lepas dari pelukan saat saya ada di rumah. Tapi, dia sudah mulai mau ditinggal berdua ayahnya di rumah jika saya pamit baik2.

Alhamdulillah lagi, sejak berhenti nenen, makannya lancar jaya 3 kali sehari meski dengan menu yang itu2 aja, telur dadar atau telur puyuh. Alhamdulillah, terima kasih guru kecilku :*