It’s Me!

Saya tergelitik untuk menulis posting ini setelah seseorang mencurigai rencana perjalanan saya besok lusa. Menurutnya, saya sedang aneh. Tidak biasa2nya saya seperti ini. Katanya lagi, pasti ada sesuatu. Dengan kerjaan saya yang sekarang, yang saya bilang bahkan tak punya waktu untuk diri sendiri, kok bisa2nya bepergian untuk alasan maen doang, dalam waktu yang lama pula [lagi2 untuk ukuran orang sesibuk saya]. Dia bahkan bilang: dia tau kapan saat saya bener2 senang, sedih, atau menutup2i kesedihan. Ouh, ma kasih, ada yang bisa mengerti, saya bersyukur.

Tapi saya bilang ke dia, saya dulu seperti ini. Dan saya sedang kangen dengan itu. Saat pengen pergi2, saya langsung cabut. Kemana saja. Sendirian, atau bersama seseorang atau beberapa orang [dan pasti selalu cantik sendiri di tengah penyamun]. Saya sedang kangen berpikir dan bertindak spontan. Saya menyesal tidak melakukannya sejak kemaren2 dan membiarkan diri saya terkungkung selama lima tahun.

Sekian lama saya terjebak dalam rutinitas. Dan baru terbangun beberapa hari lalu. Dalam sekian menit obrolan saya dengan Dian, di kamar dan disambung di kantin kantor, saya menemukan sebagian diri saya yang dulu. Ah, bodoh dan leletnya otak saya sekarang 😦

Menyedihkan.
Kenapa saya tak pernah ingat lagi bagaimana serunya berjalan sendirian ke Bali, Lombok, terus ke timur lagi, lalu pulang dengan kapal ke Makassar. Atau bagaimana menegangkannya melewati daerah konflik seperti Poso saat setiap menit nyawa bisa melayang karena ledakan ranjau dan tebasan parang dari lelaki berwajah suram yang menyeruak dari hutan di tepi jalan?
Atau bagaimana darah berdesir saat melewati tanjakan dengan tebing menganga di sisi jalan sepanjang wilayah Kebun Kopi, jalan trans Sulawesi dari selatan menuju Gorontalo dan Manado? Atau bagaimana was-wasnya orang2 yang kutinggalkan karena saya nekad menempuh Bandung-Jakarta tengah malam buta tanpa ada tempat yang dituju?
Atau bagaimana mama menangis saat tau saya bolos dari lokasi KKN dan ke Jawa dengan kapal saat laut sedang tak bersahabat karena badainya, lalu menyusuri timur hingga barat? Atau bagaimana keluarga besar saya tercengang ketika menyadari saya benar2 meninggalkan rumah untuk menetap di Kalimantan dan memulai semuanya dari nol, sendirian.

Saya baru terbangun sekarang setelah tertidur enam [baru inget, bukan lima tahun seperti saya tulis di atas] tahun lamanya. Selama ini saya ketakutan dan melihat spontanitas saya di masa lalu adalah sebuah kebodohan. Pantas Dian menertawai kekuatiran saya yang melarangnya ke pedalaman hanya berbekal duit 40 ribu rupiah, atau menyeberang ke Madura dengan duit cuma 27 ribu di tangan. Buat saya, itu konyol. padahal, dulu saya juga melakukan itu! Hhhhh….saya terlena kemapanan, pelayanan nomer satu [tau sendiri, klien sering ketakutan dicap jelek kalo ga ngasih pelayanan istimewa]

Jadi, sekarang saatnya BERGERAK [oh God, bahkan saya nyaris lupa punya blog meledak2 itu] Saya udah memulainya Rabu kemarin. Memutuskan libur dan jalan2 saat hari udah menunjukkan pukul 1 siang [untung ada temen kantor yang baik hati]. lalu nyebrang bolak balik Sungai Mahakam, menyusuri kota tua hingga gelap, makan di Jinggo, warung khas Samarinda, yang selama ini terlupa karena kebanyakan masuk mall. Lalu nginep di kost temen dan yang punya kost nginep di kantor. Sehari yang penuh … entah bagaimana menamakan segala hal yang memompa deras adrenalin saya itu.

Dan sekarang saya berdebar untuk perjalanan panjang lusa. Dan lebih berdebar lagi atas keputusan yang akan saya ambil setelah pulang cuti, akhir Februari nanti. Hei, believe me! it’s me, really really me!