Kesan-2

Ini seri kedua tentang profil orang-orang yang menurut saya membawa kesan dan pelajaran dalam hidup. 

SAYA mengenalnya dari buku. Suatu hari di penghujung tahun 2005, saya ke toko buku dan tertarik membaca bagian belakang sampul Laskar Pelangi (LP). Tak pikir panjang, saya membelinya, menamatkannya esok harinya. Sepekan setelah itu, saya ke toko buku lagi, nemenin temenku beli buku yang sama. Saya dan temenku, harus punya buku itu, masing-masing. Terlalu bagus untuk tidak dikoleksi.

Suatu hari di pertengahan 2006, seorang teman di Makassar, Aan si pecandu buku, memintaku untuk jadi panelis di talk show radio yang sedang ditanganinya. Acara radio itu khusus bicara soal buku. Saya tanya, “Apa tak ada orang lain di Makassar sampe harus nyebrang lautan nyari narasumber?” Dia bilang, “Saya tau kamu suka buku Andrea Hirata. Mungkin tepat kalo kamu jadi panelis. Kamu dapet giliran pertama untuk bicara, setelah itu Andrea Hirata.”

What? Saya terlonjak! Bener2 ga nyangka. Meski cuma lewat telfon, tapi panelis untuk review buku Andrea dan soal pendidikan di Indonesia, benar2…saya ga tau menamakannya apa. Tak ada waktu untuk menolak. Saya sedang di kantor ketika acara talk show itu mengudara. Saya bicara nyaris “asal”. Nervous!

Sebelum berhasil menata debaran jantung usai wawancara itu, Aan kembali menghubungiku. Katanya, “Ma kasih, Sukses acaranya.” Syukurlah. Dan saya ga mau melewatkan kesempatan begitu saja. Saya minta dikenalin ke Andrea. Aan memberiku nomer hp-nya. Tapi saya tak pernah menelfon. Esoknya saya ngirim imel ke Andrea. Saya lampirkan nomer hp saya dan minta izin untuk membuat review bukunya, Sang Pemimpi (SP).

Setelah review bukunya dimuat di koran, saya menghubunginya lagi untuk mengirim bukti terbit. Ketika Edensor terbit pada Mei 2007, saya membuat reviewnya lagi di koran. Baru saat itu saya mengontaknya lagi untuk wawancara lengkap. Setelahnya, beberapa kali kami saling berkirim sms tengah malam. Kala itu, insomnia saya emang gila, kadang tak tidur semaleman, bahkan sampe 3 hari. Andrea juga begitu katanya. Belakangan, pihak manajemennya yang lebih banyak menghubungi saya. Sayangnya, info2nya kadang tak lengkap untuk sebuah publikasi.

Sosok Andrea, sangat sederhana. Hal itu tergambar jelas dalam tiga novel Tetralogi Laskar Pelangi yang tak lain bercerita tentang kisah hidupnya di tanah kelahirannya, Belitong. Namun, dengan kesederhanaan itu, Andrea Hirata tampil cukup mengejutkan di dunia kesusastraan Indonesia. Baru pertama kali menulis novel, tapi karya-karyanya langsung menjadi best seller. Tawaran untuk memfilmkan karyanya pun berdatangan.

Tak salah pula jika sarjana lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, S2 dari Sheffield Hallam University, Inggris dan Universite de Paris, Sorbonne Prancis ini disebut sebagai penulis yang rajin karena bukunya terbit setiap tahun. Dimulai dengan LP pada September 2005, SP pada Juli 2006, dan Edensor pada Mei 2007.

Kesan dan pelajaran apa yang saya petik dari Andrea? Buanyak, sampe tak bisa saya sebutkan satu per satu karena banyaknya. Saya suka mengutip kata2 Arai di Edensor: “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi2 itu.” Kalimat itu, mewakili segalanya tentang Andrea. Semangat hidupnya, pantang menyerahnya, cita-citanya, hidupnya, segalanya.
Petikan wawancara saya dengannya, ada di sini